Kontroversi Wilayah: Sejarah 4 Pulau Aceh Singkil yang Kini Masuk Sumatera Utara
Polemik batas wilayah antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara bukanlah cerita baru dalam sejarah administratif Indonesia. Salah satu yang paling mencolok adalah kontroversi mengenai empat pulau yang dulunya berada di wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, namun kini tercatat dalam administrasi Provinsi Sumatera Utara, tepatnya di Kabupaten Tapanuli Tengah. Keempat pulau tersebut adalah Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Berhala (di kawasan perbatasan). Artikel ini menelusuri sejarah singkat dan dinamika pergeseran wilayah ini.
Letak Geografis dan Keterkaitan Budaya
Aceh Singkil terletak di bagian barat daya Aceh, berbatasan langsung dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Dairi di Provinsi Sumatera Utara. Pulau-pulau yang disengketakan secara geografis lebih dekat ke wilayah administrasi Aceh Singkil, khususnya Kecamatan Pulau Banyak. Dalam praktik sosial dan budaya, penduduk pulau-pulau tersebut berinteraksi dan memiliki keterkaitan erat dengan masyarakat Aceh Singkil, baik secara adat, bahasa, maupun sistem ekonomi.
Awal Mula Sengketa Wilayah
Sengketa ini mulai mencuat sejak otonomi daerah diberlakukan pasca-reformasi. Pada masa sebelumnya, pembagian administratif belum menjadi sorotan karena semua wilayah tunduk langsung pada pemerintah pusat. Namun, seiring diberlakukannya desentralisasi, kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya alam menjadikan batas wilayah sebagai isu strategis, terlebih dengan adanya potensi ekonomi dari sektor kelautan, pariwisata, dan perikanan di pulau-pulau tersebut.
Faktor Administratif dan Peta Lama
Dalam beberapa dokumen peta kolonial dan awal kemerdekaan, pulau-pulau tersebut digambarkan masuk dalam wilayah administratif Aceh, termasuk dalam wilayah yang dikelola oleh Onderafdeeling Singkil pada masa kolonial. Namun dalam proses pemetaan ulang setelah reformasi dan pembentukan peta baru oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), terjadi perbedaan klaim. Sumatera Utara mengklaim bahwa pulau-pulau tersebut lebih dekat secara administratif dengan kawasan mereka, khususnya Tapanuli Tengah.
Respon Pemerintah Daerah Aceh Singkil
Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil telah beberapa kali menyuarakan keberatan terhadap pengalihan administrasi keempat pulau tersebut. Bahkan, beberapa kali tokoh masyarakat dan pejabat daerah menyatakan bahwa hal ini merupakan “penggerogotan wilayah” yang berpotensi merugikan Aceh secara politik dan ekonomi.
Salah satu dasar keberatan adalah bahwa masyarakat yang tinggal di pulau-pulau tersebut mayoritas menggunakan bahasa Aceh Singkil atau Bahasa Aneuk Jamee, dan terdaftar dalam data kependudukan Aceh Singkil sebelum adanya klaim pengalihan wilayah.
Upaya Penyelesaian dan Ketegangan Politik
Masalah ini telah dibahas dalam beberapa forum koordinasi antardaerah dan dilaporkan ke Kementerian Dalam Negeri. Namun, hingga kini belum ada keputusan final yang mengembalikan status pulau-pulau tersebut ke Aceh. Persoalan ini pun menjadi salah satu dari sekian banyak konflik batas wilayah yang belum selesai di Indonesia.
Kondisi ini juga mengundang perhatian para pegiat masyarakat sipil dan akademisi di Aceh yang menilai bahwa perlu ada perjuangan hukum dan politik untuk menuntaskan masalah batas wilayah ini.
Makna Simbolik dan Kedaulatan Wilayah
Bagi masyarakat Aceh Singkil, keberadaan pulau-pulau tersebut bukan hanya soal teritorial, tetapi juga soal identitas sejarah, warisan budaya, dan harga diri daerah. Pulau-pulau itu menjadi bagian dari narasi panjang bagaimana perbatasan tidak hanya ditentukan oleh peta, tetapi juga oleh sejarah keterikatan masyarakat dan legitimasi sosial yang melekat.
Logika Berfikir
Kontroversi atas empat pulau antara Aceh Singkil dan Sumatera Utara menunjukkan bahwa persoalan batas wilayah di Indonesia masih sangat rentan dan memerlukan pendekatan historis, yuridis dan kultural dalam penyelesaiannya. Pemerintah pusat perlu segera bertindak agar tidak terjadi ketegangan horizontal antar wilayah dan agar keadilan administratif dapat ditegakkan berdasarkan fakta sejarah dan kondisi masyarakat lokal.