Dalam perjalanan seorang pemimpin, masa-masa keemasan bukanlah garis akhir. Sebaliknya, itu hanya jeda sebelum datangnya ujian sesungguhnya ujian kepercayaan, ujian loyalitas, ujian harga diri. Dan kelak, suatu saat nanti, Haji Rasyid Bancin (HRB) selaku Wali Kota akan sampai pada titik itu.
Bukan lagi sekadar pujian atau klaim keberhasilan pembangunan yang akan mengisi ruang-ruang publik, melainkan kritik. Kritik yang tajam. Kritik yang membawa serta analisis mendalam, data faktual, dan manuver opini yang terstruktur. Kritik yang tak hanya lahir dari barisan lawan politik, tetapi bisa pula tumbuh dari retakan internal dari mereka yang pernah berada dalam lingkaran tim HRB sendiri.
Mengapa demikian? Karena politik selalu bergerak. Karena kekuasaan tidak pernah abadi,karena hasutan, kepentingan pribadi, atau rasa kecewa bisa melahirkan oposisi dari arah yang tak disangka. Maka, ketika saat itu tiba, ketika nama HRB dikuliti, dikuliti habis dengan berlapis narasi dan tudingan, akan muncul satu pertanyaan besar: siapakah yang berani berdiri membela tanpa pamrih?
Antara Loyalitas dan Uang
Bagi sebagian pejabat yang telah lama tenggelam dalam lautan kekayaan, membayar loyalitas bukanlah perkara sulit. Ada saja yang bersedia menjadi corong pembela, dari pemuda buzzer hingga akademisi bergelar profesor. Semua bisa dibeli, bila harga cocok. Kata-kata bisa dirangkai menjadi pembelaan ilmiah. Reputasi bisa dipinjam untuk menegasikan kesalahan. Itulah realitas politik saat ini, dukungan bisa dipesan, dibayar dan dipoles hingga tampak murni.
Tetapi bagaimana dengan HRB?
Apakah ia termasuk dalam golongan itu? Ataukah ia tetap menjadi figur yang mengandalkan integritas, bukan transfer dana? Ini pertanyaan krusial, bukan hanya untuk HRB, tetapi juga untuk siapa pun yang bercita-cita memimpin tanpa menjual akal sehat.
Jika HRB memilih tidak membayar para pembela, maka pertarungannya adalah soal kepercayaan. Apakah ia telah cukup menanamkan nilai, kejujuran, dan keberpihakan kepada rakyat hingga ada orang-orang yang benar-benar rela berdiri membela, meski tanpa imbalan? Atau justru ia akan sendirian menghadapi badai, ditinggalkan oleh tim yang hanya setia pada keuntungan?
Loyalis Sejati atau Pengikut Bayaran?
Di sinilah ujian terbesar seorang pemimpin: apakah orang-orang yang mengelilinginya adalah loyalis sejati, atau sekadar pengikut bayaran? Ujian ini tidak bisa ditunda, tidak bisa dihindari. Ketika kritik datang, akan terlihat siapa yang tetap berdiri tegak, dan siapa yang lari mencari tuan baru.
HRB harus bersiap. Karena kepemimpinan yang besar selalu diuji dengan gelombang besar. Dan ketika gelombang itu datang, bukan kekayaan yang akan menyelamatkan, tetapi nilai. Nilai yang tertanam dalam perjalanan, dalam keputusan-keputusan yang telah diambil, dan dalam relasi yang dibangun tanpa basa-basi.
Sebuah Cermin
Akhirnya, pertanyaan ini bukan hanya ditujukan untuk HRB, tapi untuk semua yang memilih, mendukung, simpatisan atau bahkan pernah menjadi bagian dari tim. Apakah mereka siap membela kebenaran, meski tanpa disuap kehormatan palsu? Ataukah hanya setia selama ada amplop, jabatan, dan akses ke kekuasaan?
Karena kelak, ketika HRB benar-benar dikuliti, dunia akan menyaksikan: siapa yang masih berani berdiri, bukan karena dibayar, tapi karena percaya dan setia padanya dalam situasi apapun