5 Penyebab Pondok Pesantren Bagkrut

Daftar Isi
5 Penyebab Pondok Pesantren Bagkrut

Dalam dunia bisnis di perusahaan ada terdapat istilah pailit yang ditakuti kaum pengusaha. Pailit adalah situasi perusahaan yang berada diambang kebangkrutan atau gulung tikar, hal ini disebabkan perputaran keuangan tidak normal atau tidak sehat.

Perusahaan dinyatakan pailit apabila tidak mampu melaksanakan kewajiban pembayaran utang piutang kepada pihak tertentu, ketidakmampuan ini disebabkan terjadinya error di internal perusahaan. Meskipun perusahaan itu dalam kondisi keuangan sehat namun jika terus menumpuk hutan dan tidak mampu membayarkan kewajibannya maka tetap dinyatakan pailit.

Lembaga Pesantren Bukan Perusahaan

Ya benar, situasi dan prosesnya jauh berbeda namun lembaga pesantren bisa saja saja bangkrut dan terus merosot berada diambang kehancuran serta sangat sulit untuk bangkit kembali. begitu banyak lembaga pesantren mengalami kemorostotan pupularitas atau bahkan tutup seketika. Hal terjadi karena berbagai faktor yang kerap diabaikan oleh pengelola lembaga.

1. Manajemen Keuangan Tidak Teratur

Dalam mengelola lembaga pesantren, manajemen keuangan sangat diperlukan bahkan penting untuk dilakukan pengawasan atau kontroling sehingga tidak terjadi kerugian yang mengakibatkan konflik internal dalam lembaga.

Manajemen keuangan adalah segala aktivitas yang berhubungan dengan keputusan pengelolaan keuangan dan aset. Adapun tujuan utama dari manajemen keuangan adalah memperoleh keuntungan yang maksimal melalui sumber daya keuangan yang tersedia. Segala sumber pemasukan harus tedata dengan baik dibarengi dengan kehati-hatian dalam penggunanaan dana secara kondusif sehingga dapat memenuhi segala kebutuhan lembaga.

Ada banyak saluran pengeluaran yang wajib dilakukan pesantren, terlebih lagi jika pesantren itu menerapkan layanan makan kepada santri seperti pesantren modern atau terpadu. Dimulai dari kebutuhan listrik, logistik, salery/honor guru dan karyawan sampai kepada perbaikan sarana serta pengeluaran lainnya.

Akan menjadi masalah jika ternyata sumber pemasukan tidak sepadan dengan pengeluaran atau peraturan keungan tidak terorganisir dengan baik dan sehat. Jika anda bekerja atau terlibat dalam pengelolaan lembaga pesantren dengan kondisi keuangan yang tidak teratur maka selama itu pula anda akan berada di zona konflik yang tidak berkesudahan.

Dalam situasi ini, pesantren tidak akan bertahan lama dan sangat sulit untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan pekerja sehingga berpotensi mempengaruhi proses kemajuan dan pengembangan lembaga, akhirnya berujung kepada kehancuran.

Tidak sedikit pengelola lembaga yang bangga dengan murahnya biaya pendidikan atau bahkan tidak membebankan SPP kepada santri, itu selalu dijadikan modal untuk promosi namun sejatinya secara manajemen hal itu tidak sehat.

Kendatipun pesantren itu memiliki usaha atau pimpinannya super tajir dengan sejumlah kekayaan yang mampu memberikan suntikan sejumlah dana untuk penyaluran honor kepada guru dan seluruh pekerja serta asupan kebutuhan lainnya, akan tetapi hal ini tetap dinyatakan tidak sehat, karena sumber dana itu tidak bersifat tetap dan terjamin selalu ada.

2. Pimpinan Otoriter

Otoriter yang terjadi dilingkungan pesantren tidak sama dengan umunya kita baca dalam catatan sejarah atau peradaban kepemimpinan.

Otoriter yang dimaksud adalah sikap kepemimpinan yang monoton, segala sesuatu dikendalikan sepenuhnya oleh pimpinan atau orang-orang tertentu tanpa memberi ruang diskusi kepada guru dan pekerja lainnya, dalam kondisi lain memberikan ruang demokrasi namun hanya sekedar alibi memberi kesempatan untuk bersuara akan tetapi tetap saja tidak merubah sikap dasar pimpinan dalam menentukan kebijakan.

Satu sampai sepuluh tahun hal ini akan terasa aman-aman saja, namun seuatu saat para pekerja akan tersadar dan berfikir realistis dengan kondisi mereka seperti mesin yang tidak memiliki wewenang dalam bertugas.

3. Konflik Kesejahteraan

Sebenarnya, dengan memberikan layanan kepada guru pesantren berupa makanan pokok, tempat tinggal, listrik dan air gratis dibarengi dengan honor satu sampai dua juta tidaklah menjadi ukuran untuk dikategorikan sejahtera, terlebih lagi jika layanan itu tidak maksimal dan datangnya terlambat.

Logikanya, guru pesantren juga seperti manusia sosial pada umumnya, mereka memiliki kehidupan lain diluar pesantren bahkan mungkin sudah memiliki tanggungan, selain itu mereka juga ingin hidup normal dengan memiliki kendaraan, referesing, membeli pakaian dan lain sebagainya.

Sejahtera dapat diartikan dengan kedamaian dan kenyamanan artinya sebesar apapun jumlah pendapatan yang diberikan kepada guru pesantren namun ternyata diberikan beban kerja dengan konsep penekanan maka kondisi inipun tidak layak disebut sejahtera.

Konflik kesejahteraan merupakan hal mendasar yang berpotensi menganggu stabilitas lembaga pesantren, terlebih lagi jika guru tidak mendapatkan layanan yang layak atau tidak sepadan dengan kebutuhan hidup.

Situasi ini akan diperparah jika ternyata pesantren tidak memiliki manajemen yang teratur, inilah sumber masalah yang akan berpotensi menjadikan pesantren itu bangkurut, dimulai dari kualitas kinerja guru yang tidak maksimal sampai kepada mengabaikan tugas sebagai unjuk rasa agar diperhatikan, namun ternyata pimpinan atau pengelola yang memiliki wewenang mengabaikan itu dan bahkan mempersoalkan dengan mempersalahkan guru secara frontal.

4. Khianat

Seseorang yang dipercayakan untuk mengemban amanah namun ternyata ia berpaling atau menyia-nyiakan amanah itu maka hal tersebut dengan khianat atau sikap penghianatan. Hal ini sangat berpotensi menciderai lembaga, terlebih lagi jika tugas atau amanah yang diberikan berhubungan dengan sektor keuangan. 

Penghinatan pula kerap terjadi dengan alasan karena ketidakpuasan dalam mendapat pelayanan, mungkin itu hanya alibi pembelaan, namun cukup masuk akal jika seorang pekerja di pondok pesantren yang kerap mendapati kondisi hidup serba kekurangan bahkan terlilit hutang untuk sekedar memenuhi kebutuhan maka untuk dapat lepas dari zona sulit itu ia memanuver peluang dengan memanfaatkan situasi.

Mungkin saja ia sudah menyampaikan perihal kondisi hidupnya kepada pimpinan atau bersuara beberapa kali namun kerap diabaikan bahkan dituduh matreailistis alias tidak ikhlas mengabdikan diri untuk pesantren.

Khianat dalam memanfaatkan jabatan untuk kepentingan diri sendiri bisa saja terjadi kepada pemegang kekuasaan di pesantre, terlepas dari alasan dan tujuannya atau juga dengan akibat dosa yang ia dapatkan namun bagaimanapun hal tersebut benar-benar sudah terjadi.

Penghianatan sangat berpotensi besar meruntuhkan kepercayaan publik terhadap pesantren sehingga dalam waktu dekat akan menjadikan pesantren tidak memiliki integritas dan gulung tikar.

5. Mengandalkan Personal

Pesantren dapat maju dan berkembangan karena sosok pimpinannya, hal itu tidak dipungkiri dimana kita melihat begitu banyak pondok pesantren yang dipercayai masyarakat untuk menyekolahkan anak mereka didalamnya karena kebanggaan dan kepercayaan terhadap seorang pimpinan.

Segala sesuatu di pesantren yang ditonjolkan adalah pimpinan, maka disuatu masa disaat orang lain yang menduduki kepemimpinan tentu tidak mendapatkan rasa sama yang dari pemimpin sebelumnya, hal ini akan mempengaruhi kepercayaan publik terlebih lagi sosok pimpinan baru itu sikapnya bertolak belakang.

Hal ini juga bisa terjadi pada pekerja, personal guru yang kerap diandalkan kemapuan atau skill nya, seakan-akan tanpa keberadaannya prestasi tidak dapat diraih.

Sejatinya pondok pesantren harus memperhatikan kaderasisasi untuk siap menduduki jabatan dan tugas apapun, entah itu disektor pengelolaan, pengembangan, pendidikan, pengasuhan dan lain sebagainya, sehingga tidak kaku jika kehilangan personil.